Selasa, 03 April 2012

Semoga Semakin Transparan

Tulisan ini dibuat dengan harapan semoga sistem pendidikan dasar dan enengah saat ini, tidak seperti jaman saya dulu (*hehehe,ketahuan tuanya*). Benar-benar hanya luapan emosi setelah membaca surat kabar.

Sekitar seminggu lalu saya cukup terhenyak membaca berita di koran, bahwa sistem SNMPTN akan diubah. Dengan alasan melihat konsistensi prestasi semasa SMU akan memiliki dampak signifikan (berkorelasi positif) terhadap perstasi di bangku kuliah.

Setuju banget, selama sistem pendidikan (* baca proses belajar mengajar*) sudah bersih, jujur dan transparan.

Berkaca pada pengalaman saya dulu. Jujur, UMPTN (*nama SNMPTN saat itu*) adalah tonggak yang mampu mengembalikan kesadaran saya, tanpa dicurangi pihak lain. Tonggak kembalinya harga diri dan kepercayaan diri saya.

Setelah mengalami masa menyenangkandan berprestasi  di salah satu SD Negeri favorit di Jakarta, saya mengalami masa SMP yang menyebalkan.Sangat menyebalkan. SMPN favorit tempat banyak anak pejabat  dan anak orang kaya bersekolah. Bagaimana tidak? Saat kelas 1, saya masuk ranking 2 di kelas. Dan pengalaman  meruntuhkan harga diri dimulai. Hanya saya satu-satunya anak di 10 besar yg di lempar dari kelas prestasi.  Padahal semua ranking di bawah saya (dari 1 -10) yg masuk 10 besar, masuk kelas favorit, kelas prestasi. Alasannya, sangat gila menurut saya : agar ada pemerataan, agar ada murid yg berpresatasi bisa memacu semangat murid lain. Kalau begitu, kenapa harus tetap ada 2 kelas favorit? Alasan yg terlalu dibuat-buat.

Tak patah semangat, saya walaupun ditempatkan di kelas anak-anak bermasalah, tetap berprestasi. Ga kalah dengan nilai anak-anak kelas favorit.

Namun cobaan belum berakhir. Karena saya anak orang biasa, pas NEM dibagikan, ada yg ganjil, dan saya ga bisa bertanya. Alasan komputerisasi. Padahal saat itu belum komputerisasi. Kepala sekolah ga transparan. Pas jaman adik sekolah di SMPN Favorit lainya, dan kita sudah punya kenalan di Kementrian Pendidikan. Pas nilai adik tertukar bisa kita telusuri, dan terbukti tertukar. Di SMP swata Katholik pun, kepala sekolahnya sangat transparan dan berusaha mencari tahu kalau ada nilai yg ganjil. Tidak seperti sekolah saya. Keterlaluan.

Patah hati jelas, ogah belajar dan ga akan mau belajar. Plus di SMA Negeri tempat saya jelas banget, anak-anak orang kaya les hampir semua pelajaran. Tiap semester guru dikasih parcel. Bahkan ada yang ganti 4 velg mobil guru. Semua guru Matematika, Fisika, Kimia dan Bahasa Inggris dapat bingkian.

Jadi saat itu saya dan teman saya yg bukan anak pejabat, bukan anak orang kaya, hanya menggantungkan nasib di UMPTN.

UMPTN pertama kami gagal. .Kami sangat ngotot masuk program studi favorit di universitas ternama. Padahal persiapan kurang.  Tahun berikutnya kami lolos. Sahabat saya masuk Fakultas Kedokteran UNPAD dan saya masuk FEUI.

Sedangkan anak-anak yg gemar nyogok, masuk swata, itupun bukan di gelombang gelombang pertama. Banyak yg terlempar tidak diterima di swasta favorit.

Jadi kalau sistem pendidikan belum merata mutunya,  jujur, bersih dan transparan bagaimana nasib anak-anak biasa yang mampu berprestasi harus mengangkat kembali harga diri mereka?

Karena bagaimanapun SNMPTN adalah sarana yg lebih bisa kami percayai "bersih" dalam pendidikan Indonesia. Tidak terdengar masalah kebocoran, lebih adil dan transparan.