Minggu, 08 Agustus 2010

Hati Seluas Samudra

Menjelang memasuki bulan Ramadhan, saya merasa masih harus belajar banyak untuk memaafkan. Dan buat saya, guru yg dekat dan bisa menjadi contoh adalah Papa saya. Terlahir sebagai "darah ndalem" dan benar2 dilahirkan di keraton, tidaklah membuat hidupnya mudah. Perceraian kedua orang tuanya, membuat ia&adiknya semata wayang dibuang ke tengah sawah dekat rumah seorang abdi dalem. Ini agar mempermulus pernikahan kembali Eyang Kakung dengan seorang putri bangsawan. Eyang putri pun menikah kembali dengan seorang tentara. Papa kemudian terpisah dari adiknya. Ia hidup dari 1 keluarga&berpindah ke keluarga lain, hanya agar bisa disekolahkan. Tak heran, meskipun seorang lelaki, Papa jadi ahli masak, cuci, dan membersihkan rumah. Kehidupan memaksa ia mencari uang sendiri untuk membiayai hidupnya. Kelembutan&kasih sayang ALLAH SWT yg memperbaiki hidupnya. Setamat SMP ,ia merantau ke Jakarta. Mencari kerja kantoran agar bisa sekolah di SMA. Ijazah SMP membuat tolakan menjadi santapan harian. Siapa nyana, kebiasaannya untuk menolong seorang nenek yg menjadi tetangganya, membacakan surat dari keluarga (karena si nenek tidak bisa membaca) dan tiap malam Jum'at dzikir Al Fatihah 1000x ditemani lilin( masih susah listrik), berbuah sangat manis. Berbulan2 kegiatan tersebut dilakukannya hanya karena kasihan pada si nenek tetangganya tersebut. Sampai suatu hari, ia dipanggil untuk diperkenalkan dengan salah 1 keponakan si nenek. Bapak tersebut menyuruhnya untuk datang ke kantor si Bapak, di suatu BUMN ternama, keesokan harinya untuk melamar kerja. Dengan membawa ijazah SMP, Papa datang ke kantor tersebut untuk tes kerja. Sesampainya di kantor tujuan. Bukan tes kerja yg dihadapi, melainkan ia langsung diterima jadi staff tanpa tes apapun juga. Gajinya tiap bulan mengantarnya ke SMA, bahkan bisa kuliah di UI. Kehidupan&jabatannya terus menanjak sampai ia pensiun. Dendamkah Papa pada kedua orang tuanya yg telah mebuangnya? Tidak sama sekali. Di masa Eyang Kakung tua, Papa mengunjunginya seminggu sekali, membawakan makanan, uang& mengajak berlibur, sampai Eyang Kakung wafat. Dan sekarang, Eyang Putri sudah beberapa tahun di rumah kami. Di saat Eyang berumur diatas 90 tahun, Papa dengan telaten merawatnya, membantu memandikan, membuat makan, menyuapi dan lain sebagainya. Melihat hal ini saya tidak habis pikir, ya mungkin karena hati saya belum selembut Papa. Perjuangan melembutkan hati dan memaafkan memang masih harus saya tekuni. Papa... bagiku hatimu seluas samudera. (Maaf kalau tidak enak dibaca, karena ditulis dari mobile phone mungil).

Hati Seluas Samudra

Menjelang memasuki bulan Ramadhan, saya merasa masih harus belajar banyak untuk memaafkan. Dan buat saya, guru yg dekat dan bisa menjadi contoh adalah Papa saya. Terlahir sebagai "darah ndalem" dan benar2 dilahirkan di keraton, tidaklah membuat hidupnya mudah. Perceraian kedua orang tuanya, membuat ia&adiknya semata wayang dibuang ke tengah sawah dekat rumah seorang abdi dalem. Ini agar mempermulus pernikahan kembali Eyang Kakung dengan seorang putri bangsawan. Eyang putri pun menikah kembali dengan seorang tentara. Papa kemudian terpisah dari adiknya. Ia hidup dari 1 keluarga&berpindah ke keluarga lain, hanya agar bisa disekolahkan. Tak heran, meskipun seorang lelaki, Papa jadi ahli masak, cuci, dan membersihkan rumah. Kehidupan memaksa ia mencari uang sendiri untuk membiayai hidupnya. Kelembutan&kasih sayang ALLAH SWT yg memperbaiki hidupnya. Setamat SMP ,ia merantau ke Jakarta. Mencari kerja kantoran agar bisa sekolah di SMA. Ijazah SMP membuat tolakan menjadi santapan harian. Siapa nyana, kebiasaannya untuk menolong seorang nenek yg menjadi tetangganya, membacakan surat dari keluarga (karena si nenek tidak bisa membaca) dan tiap malam Jum'at dzikir Al Fatihah 1000x ditemani lilin( masih susah listrik), berbuah sangat manis. Berbulan2 kegiatan tersebut dilakukannya hanya karena kasihan pada si nenek tetangganya tersebut. Sampai suatu hari, ia dipanggil untuk diperkenalkan dengan salah 1 keponakan si nenek. Bapak tersebut menyuruhnya untuk datang ke kantor si Bapak, di suatu BUMN ternama, keesokan harinya untuk melamar kerja. Dengan membawa ijazah SMP, Papa datang ke kantor tersebut untuk tes kerja. Sesampainya di kantor tujuan. Bukan tes kerja yg dihadapi, melainkan ia langsung diterima jadi staff tanpa tes apapun juga. Gajinya tiap bulan mengantarnya ke SMA, bahkan bisa kuliah di UI. Kehidupan&jabatannya terus menanjak sampai ia pensiun. Dendamkah Papa pada kedua orang tuanya yg telah mebuangnya? Tidak sama sekali. Di masa Eyang Kakung tua, Papa mengunjunginya seminggu sekali, membawakan makanan, uang& mengajak berlibur, sampai Eyang Kakung wafat. Dan sekarang, Eyang Putri sudah beberapa tahun di rumah kami. Di saat Eyang berumur diatas 90 tahun, Papa dengan telaten merawatnya, membantu memandikan, membuat makan, menyuapi dan lain sebagainya. Melihat hal ini saya tidak habis pikir, ya mungkin karena hati saya belum selembut Papa. Perjuangan melembutkan hati dan memaafkan memang masih harus saya tekuni. Papa... bagiku hatimu seluas samudera. (Maaf kalau tidak enak dibaca, karena ditulis dari mobile phone mungil).